12.3.12

Tentang Skizofrenia dan Epilepsi


picture1

Apa yang akan Anda lakukan jika berpapasan dengan seorang laki-laki ketika ingin naik kendaraan umum namun dia terjatuh dan mengalami kejang-kejang dengan mulut yang berbusa? Ketika diperiksa oleh dokter, ia tidak hanya mengalami kejang tetapi juga mengalami delusi dan halusinasi yang sangat parah. Bagaimanakah Anda menanggapinya?

Jangan mudah panik, karena bisa saja laki-laki ini tidak hanya mengalami 1 penyakit kronis saja, tetapi lebih dari itu.
Studi sebelumnya mengatakan bahwa penyakit skizofrenia dan epilepsi sangat rentan dan mungkin disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, atau bahkan terkait dengan sistem syaraf.
Sebelum membahas lebih lanjut, definisi dari Skizofrenia adalah sebuah penyakit mental kronis yang ditandai dengan delusi, halusinasi, kesulitan untuk bertingkah laku normal dalam situasi sosial, dan juga kesulitan untuk memiliki respon emosi yang normal. Gejala lain yang dialami pasien skizofrenia adalah kesulitan untuk berkonsentrasi, kesulitan dalam tidur, merasa sering gelisah dan cemas, dan juga susah berpikir serta mengekspresikannya dengan jelas. Yang berbahaya adalah, pasien skizofrenia juga sering mendengar suara-suara yang menyuruh mereka untuk menyakiti diri sendiri atau orang-orang yang disayangi.
Epilepsi adalah sebuah penyakit neurologis yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kejang yang berulang-berulang. Episode-episode dari kejang tersebut dapat menyebabkan atensi dan tingkah laku seseorang dapat berubah. Gejala penyakit epilepsi sangat bervariasi, mulai dari kejang sampai perubahan emosi. Penyebab umum epilepsi adalah stroke, Alzheimer’s Disease, dan penyebab lain terkait dengan otak, seperti cedera pada otak, tumor otak, dan lain-lain.
Penelitian di Taiwan telah menemukan bahwa skizofrenia memang sangat erat kaitannya dengan penyakit mental epilepsi. Penelitian ini telah dipublikasikan di dalam Jurnal Epilepsia, sebuah kumpulan artikel yang dikeluarkan oleh ILAE (International League Against Epilepsy). Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa pasien skizofrenia mampu menderita epilepsi 6 kali lipat, sedangkan penderita epilepsi mampu juga menderita skizofrenia hampir 8 kali lipat.
Studi ini mengambil data 5.195 pasien skizofrenia dan 11.527 pasien epilepsi yang terdiagnosa selama 9 tahun ke belakang. Data ini diambil dari database Taiwan National Health Insurance dan dipimpin oleh peneliti-peneliti dari China Medical University. Selain itu, pasien juga dibandingkan berdasarkan jenis kelamin dan umur yang sama pada orang normal, tidak terdiagnosa kedua penyakit itu.
Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa pasien skizofrenia lebih rentan untuk menderita epilepsi dibandingkan orang-orang yang tidak menderita skizofrenia. Penelitian ini juga memberitahukan bahwa peluang pasien skizofrenia untuk menderita epilepsi adalah 6.99/1000 orang per tahunnya, dibandingkan orang yang tidak menderita skizofrenia sama sekali (1.19/1000).
Sebaliknya, orang yang menderita epilepsi juga lebih banyak untuk menderita skizofrenia juga dibandingkan orang yang tidak menderita epilepsi. Statistik menunjukkan peluang orang ayan yang menderita skizofrenia sebanyak 3.53/1000 orang per tahunnya, dibandingkan orang yang tidak menderita epilepsi sebanyak 0.46/1000 orang per tahun.
Selain kuatnya hubungan skizofrenia dan epilepsi, pasien epilepsi pria lebih banyak menderita skizforenia dibandingkan dengan pasien wanita.
Seorang profesor dari China Medical University, Dr. I-Ching Chou, mengatakan bahwa penelitiannya menunjukkan relasi yang kuat antara kedua penyakit ini. Dia juga menyarankan untuk mengadakan penelitian tentang kedua penyakit ini lebih lanjut terkait dengan mekanisme patologis.
Jika Anda bertemu dengan orang-orang yang mempunyai gejala-gejala yang terpaparkan di atas, jangan langsung melabel bahwa mereka menderita skizofrenia atau bahkan epilepsi, karena bisa jadi di antara orang-orang tersebut terdapat individu-individu yang mengalami keduanya.

Sumber :
Priyahita, Samarthya. (2011). Tentang Skizofrenia dan Epilepsi. Diunduh dari www.ruangpsikologi.com. Diakses 12 Maret 2012.

Disleksia Bukan Penghalang Kesuksesan


dyslexia_2
Pada artikel sebelumnya, ruangpsikologi telah menjelaskan sedikit tentang disleksia. Disleksia adalah gangguan membaca yang spesifik pada seseorang dengan pengelihatan dan kemampuan akademis yang memadai (Kalat, 2009). Gangguan ini terjadi karena kondisi otak yang tidak bisa mengenali dan memproseskan simbol-simbol tertentu. Orang-orang yang menderita disleksia mempunyai kesulitan dalam membaca suatu kata dan menganggap kata-kata tersebut berbentuk lain dari bentuk normal. Gejala dari penyakit disleksia adalah mengalami kesulitan dalam mengartikan suatu kalimat sederhana, kesulitan dalam membaca kata-kata tertulis, dan kesulitan dalam menyajakkannya. Aspek abnormal dari penderita disleksia ini adalah otaknya, bukan gangguan pengelihatan ataupun rendahnya intelijensi. Bahkan, banyak orang dengan penderitadisleksia mempunyai kecerdasan di atas rata-rata intelijensi normal. Berikut ini merupakan cerita dan penjelasan dari beberapa figur tentang bagaimana mereka menikmati hidup mereka dengan penyakitdisleksia .
Christian Boer
Ia adalah seorang desainer grafis yang menderita disleksia sejak ia lahir. Karena penyakitnya yang tidak mampu membaca kata-kata, ia padukan penyakitnya dengan seni bersama-sama membuat suatu proyek yang kemudian bernama Dyslexie pada tahun 2008 saat ia masih berokupasi sebagai pelajar. Dengan adanya proyek ini, dilakukanlah penelitian di University of Twente di Belanda pada pasien-pasiendisleksia (disebutnya dyslexics). Riset ini menjelaskan bahwa dyslexics menunjukkan adanya perkembangan yang progresif dengan membaca bacaan yang dituliskan dalam Dyslexie. Dyslexie merupakan bentuk tulisan khusus didesain untuk penderita disleksia agar dapat membaca lebih baik dan mengurangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam membaca. Karena Boer merupakan seorangdisleksia , ia menyadari sendiri apa yang disleksia butuhkan untuk melakukan perkembangan dalam membaca kalimat-kalimat sederhana ataupun kompleks. Boer memang berniat untuk membantu pasiendisleksia lainnya untuk membantu mereka dalam membaca dan melancarkannya dengan font khusus.
Dyslexie is not a cure, but I see the font as something like a wheelchair.” Video bisa dilihat di sini
Peter Lovatt, Ph.D
Lovatt adalah seorang psikolog juga sekaligus pedansa handal. Ia menyukai dansa sejak kecil, di mana ketika ia kecil, ia mengikuti les balet dan ia satu-satunya anak laki-laki pada kelas tersebut. Sembari hobi yang dilakukannya, Lovatt juga menderita disleksia dan semakin buruk ketika menginjak umur 20. Ketika ia menyerah untuk berdansa, ia memutuskan untuk berkuliah jurusan psikologi dan bahasa inggris, mengingat ketika kecil juga mengalami remedial di kelas bahasa inggris karena menderita disleksia itu sendiri. Lovatt kemudian mendapatkan beasiswa S2 jurusan Neural Computation diUniversity of Stirlingdan menyelesaikan disertasinya di Essex University. Tahun 1998, ia menyelesaikan penelitian untuk mendapatkan gelar Ph.D-nya tentang Short-term Memory and Dyslexia. Kemudian ia dikukuhkan menjadi profesor di Hertfordshire University pada September 2004, dan mendirikan Psychological Dance Lab. pada tahun 2008. Lovatt merupakan salah satu bukti bahwa penderita dyslexia belum tentu mempunyai mental dan kecerdasan yang normal atau di bawahnya.
People with dyslexia have different memory systems, so it’s very important for them to find ways to channel their creative expression.”  Video bisa dilihat di sini
Orlando Bloom
Aktor terkenal ini merupakan salah satu dari penderita disleksia yang sukses dengan karirnya. Awalnya, Bloom merasa mempunyai self-esteem yang rendah karena adanya penyakit ini, ia merasa bahwa dirinya tidak pintar. Dengan tidak bisa membaca kalimat dan memahaminya dengan benar, Bloom merasa lelah dengan dirinya sendiri dan merasa tidak layak. Akan tetapi, pada umur 7 tahun saat ia didiagnosis menderita disleksia, ia juga menghasilkan skor IQ yang tidak rendah. Dengan begitu, ia merasakan kelegaan yang membuat self-esteem-nya kembali naik dan membuat kesimpulan bahwa disleksia itu sendiri tidak berhubungan dengan kecerdasan, IQ, atau kognisi seseorang. Bloom termasuk penderita dyslexia yang beruntung dan menghasilkan kehidupan yang baik, dibandingkan penderita dyslexia lainnya, yang berakhir di penjara karena narkotika, atau menjadi anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah. Bloom menyemangati anak-anak penderita disleksia untuk tidak boleh malu dengan kekurangannya, anggaplah itu sebagai tantangan serta bakat. Dengan menyadari disleksia bukan berarti tidak pintar, kreativitas sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan non-akademis penderita disleksia agar tetap menjadi orang yang berguna di kemudian hari.
Michael Faraday
Ahli fisika dan kimia ini merupakan salah satu orang penting pada abad ke-19. Faraday adalah seorang ilmuan yang sempat berkontribusi dalam bidang elektromagnetisme dan electrolysis. Suatu hari, seseorang bernama Thomas West mengatakan bahwa Faraday menderita disleksia. Faraday menjadi kurang peka dalam pengejaan kata dan ketepatan waktu. Memori Faraday sedang tidak bekerja, melainkan “mempermainkan” Faraday, dan gejala lain, ia tidak bisa menyelesaikan soal matematika sederhana. Akan tetapi, Faraday memiliki kemampuan visual yang kuat, bahwa ia pertama memahami terlebih dahulu apa yang dilihatnya, kemudian memecahkan apa yang dipikirkannya menjadi bagian-bagian agar mudah dipahami oleh orang lain. Tidak semua penderita disleksia mempunyai kemampuan ini.
Robert W. Woodruff
Woodruff pernah menjabat sebagai presiden perusahaan Coca Cola tahun 1923-1954. Merujuk kepada pengalaman Woodruff waktu kecil, ia juga menjadi salah satu penderita disleksia. Ayahanda Robert, Ernest Woodruff, adalah seorang figur yang sangat sukses pada saat itu, dengan menjabat menjadi presiden dari satu-satunya bank terpercaya di daerah Atlanta bagian selatan, yaitu The Trust Company of Georgia. Ernest termasuk seorang ayah yang bersifat otoriter dan keras kepala, sehingga Robert dikuliahkan di Emory College setelah menyelesaikan studinya di Georgia Military Academy tanpa mempertimbangkan bidang-bidang yang diminati Robert. Karena didiagnosa sebagai penderita disleksia, performa Robert ketika di Emory College sangat buruk sehingga pihak universitas mengirimkan surat yang berisikan tentang ketidakpuasan mereka terhadap performa Robert pada saat itu. Setelah melewati masa sekolah, Robert menemukan minatnya pada bisnis. Ia juga menemukan kesenangan dalam bidang pemasaran atau marketing dan mempromosikan bisnis Coca-Cola untuk yang pertama kalinya. Dengan bekal kemampuan Robert yang canggih dalam bisnis membuat ia mampu menghasilkan umpan balik yang tidak kalah canggihnya hingga perusahaan Coca-Cola bisa dikenal sampai penghujung dunia.
Dari 5 cerita penderita disleksia di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit disleksia sama sekali tidak berhubungan dengan kecerdasan, sehingga dyslexics jangan sampai self-esteem rendah karena menganggap dirinya tidak pintar dan tidak kreatif. Kreativitas ada pada setiap diri seseorang, dan tingkatan kreativitas berbeda-beda setiap orangnya. Teruslah berkreasi karena inovasi datang dari ide kecil yang bisa dikembangkan!


Sumber :
Priyahita, Samarthya. (2011). Disleksia Bukan Penghalang Kesuksesan. Diunduh dari www.ruangpsikologi.com. Diakses 12 Maret 2012.

4.3.12

Eudaimonia: Sejahtera secara Psikologis dengan Menjadi Diri Sendiri

Bayangkan diri Anda membeli sebuah mobil baru. Apa yang Anda rasakan? Senang dan bahagia? Sekarang bayangkan Anda berhasil melakukan sesuatu yang dari dulu benar-benar ingin Anda lakukan. Seperti, mendapatkan pekerjaan yang Anda dambakan, mencapai puncak sebuah gunung yang dari dulu ingin Anda daki, atau berhasil membuat sebuah resep masakan dengan sempurna. Apa yang Anda rasakan? Senang dan bahagia? Adakah perbedaan perasaan senang dan bahagia pada kedua bayangan tersebut?
Sejak jaman Yunani kuno, Aristoteles sudah merasa bahwa ada kebahagiaan lain yang melebihi kebahagiaan yang sekedar memberikan rasa senang, seperti membeli mobil baru, merasakan nikmatnya mabuk setelah meminum alkohol, melakukan hubungan seks dan lain-lain. Jika Aristoteles menamakan kebahagiaan yang menimbulkan rasa senang sebagai kebahagiaan Hedonic, Aristoteles menamakan kebahagiaan “lain” ini sebagai kebahagiaan Eudaimonic, yaitu saat seseorang merasa potensi hidupnya telah berjalan secara maksimal.
Kebahagiaan Eudamonic, menurut Aristoteles, kebahagiaan yang tidak kosong atau yang hilang setelah sumber kebahagiaan itu sudah tak terlihat mata atau tak terasa oleh indera perasa. Sebagai contoh, menjalin hubungan yang indah dengan seseorang bisa mendatangkan senyum ke wajah kita, bahkan saat orang tersebut sedang jauh di negeri seberang, atau bahkan sudah meninggal.
Menurut Aristoteles, kebahagiaan Eudaimonic lebih bersifat kejiwaan, sehingga lebih membuat jiwa seseorang sejahtera. Lihat saja contoh di atas, perasaan saat kita berhasil meraih cita-cita yang sudah lama kita impikan tentu lebih berharga dari sebuah mobil baru, ‘kan? Peneliti di jaman modern ini mengamini penjelasan Aristoteles.
Tiga orang peneliti dari Amerika Serikat (Michael Steger, Todd Kashdan, dan Shigehiro Oishi) membuktikan perkataan Aristoteles. Mereka menemukan bahwa dalam hidup, orang akan menemukan kebahagiaan Hedonis atau kebahagiaan Eudamonic. Tapi hanya kebahagiaan Eudamonic yang berhubungan dengan kesejahteraan jiwa (psychological well-being). Mereka menemukan bahwa setelah menjalani kebahagian Eudamonic, orang merasa hidupnya lebih memuaskan, merasa bahwa hidupnya lebih memiliki arti, dan merasakan emosi yang lebih positif.
Salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan Eudamonic adalah dengan menjadi diri sendiri. Sebagai ilustrasi, bayangkan seorang akuntan yang merasa bahwa dia lebih senang menjadi seorang pelukis. Tentu dia akan merasa lebih bahagia jika dia beralih profesi menjadi seorang pelukis (atau setidaknya mendapat kesempatan ikut les lukis di akhir pekan). Atau contoh lain, seorang istri yang merasa bersalah karena dia tertarik pada rekan kerjanya di kantor. Rasa bersalahnya ini (yang menghambat rasa bahagia) dapat dihilangkan dengan menerima kenyataan bahwa dia tertarik pada orang lain selain suaminya, dan hal tersebut tidak apa-apa asalkan dia tidak selingkuh dengan orang tersebut.
Menjadi diri sendiri memang membutuhkan usaha dan keberanian. Kita harus bersedia mendengarkan dan menerima pikiran-pikiran tergelap kita. Kita juga harus mencoba mengikuti keinginan terdalam kita (misal, seorang pria yang ingin operasi kelamin karena merasa bahwa jiwanya adalah wanita) walaupun mendapatkan tekanan dari keluarga atau lingkungan di sekitar kita. Menjadi diri sendiri memang memiliki resiko sendiri. Tetapi, di jaman yang makin terbuka ini, sekarang adalah saat yang paling kondusif untuk mencoba menjadi diri sendiri, agar Anda bahagia dan sejahtera secara psikologi.
Cara-cara untuk Menjadi Diri Sendiri :
1. Membaca novel
Membaca novel memberikan kesempatan bagi Anda untuk melihat sudut pandang orang lain. Mungkin, dengan mengeksplorasi sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang Anda, justru Anda akan menemukan sudut pandang yang lebih cocok dengan diri Anda.
2. Meditasi
Selain menjadi kesempatan untuk mendengarkan suara-suara di dalam diri Anda, meditasi dapat memberikan kebahagiaan yang tidak tergantung pada hasil kerja Anda. Dengan mengetahui kebahagiaan murni tersebut, Anda bisa mencari tahu apa yang benar-benar membuat Anda bahagia.
3. Memilih apa yang Anda inginkan
Jangan biarkan lingkungan mendikte Anda. Tentukan apa yang Anda inginkan, dan lakukanlah. Sekali-sekali bahkan jangan terlalu memikirkan keputusan Anda.
4. Berhubungan dengan orang lain
Temukan bahwa orang lain juga ingin (dan sudah) menjalani hidup sesuai dengan keinginannya.
5. Bersenang-senang sesuai dengan siapa diri Anda
Olah raga atau berbincang-bincang tanpa arah dengan teman Anda di kafe mungkin adalah ide baik (jika memang Anda menyukainya).
6. Menerima kekalahan
Jangan biarkan kegagalan menambah ketidakbahagiaan Anda. Menerima kegagalan terbukti dapat mengurangi rasa kecewa.



Sumber :
Anonim. (2009).  Eudaimonia: Sejahtera secara Psikologis dengan Menjadi Diri Sendiri. Diunduh dari www.ruangpsikologi.com. Diakses 4 Maret 2012.