Perbincangan yang berkaitan dengan kata makan dan
makanan memang tidak ada habisnya. Pertanyaan seperti “makan dimana?”
atau “makan apa?” selalu menarik untuk dilontarkan. Temuan-temuan ilmiah
mengenai makanan pun seperti tak pernah berhenti mengalir. Kehidupan
manusia memang lekat dengan masalah makanan. Mau bagaimana lagi?
Kegiatan makan dan mencari makanan memang merupakan salah satu insting
mendasar manusia. Sejak pertama kali manusia menjejakkan kaki di bumi
–bahkan sejak pertama kali ada kehidupan di bumi—, kegiatan
mengunyah-menelan-dan-biarkan-sistem-pencernaan-mengurus-sisanya telah
menjamin keberlangungan hidup manusia. Sehingga, kita bisa bilang bahwa
mencari dan menikmati makanan adalah salah satu aspek mendasar kehidupan
manusia. Bahkan ada bagian otak yang khusus mengatur masalah ini (akan
dibahas nanti).
Tapi, bagi saya yang menurut situs pencari
jodoh harus meng-klik ‘kelebihan beberapa pound’ pada bagian Deskripsi
Diri, perbincangan masalah makanan tidak berhenti pada topik ‘tempat
makan enak’ dan ‘resep baru’. Saya juga harus membicarakan mengenai sisi
gelap dari kegiatan makan dan mencari makan ini, yaitu, masalah
‘menahan dan mengurangi porsi makan’ atau dalam bahasa sehari-harinya
dikenal dengan kata DIET. Persoalan mengenai mengapa orang harus diet
berkaitan dengan banyak hal yang jika dijabarkan bisa menghasilkan satu
buah tulisan baru lagi. Tapi singkatnya seperti ini, diet atau
mengontrol insting makan berkaitan erat dengan dua insting mendasar
lainnya, yaitu, insting seks (orang yang kelebihan beberapa kilogram
akan lebih susah untuk mendapatkan pasangan) dan insting mempertahankan
diri (orang yang kelebihan beberapa kilogram terbukti mempunyai rentang
pilihan pekerjaan yang lebih sempit, sehingga kemampuan survivalnya jadi
lebih rendah).
Hanya saja, saya tidak sendiri. Bahkan
“teman” saya yang sama-sama menghadapi masalah diet dan kelebihan berat
badan (bahkan obesitas) sangat banyak –mungkin salah satunya adalah
anda. Sebuah editorial di koran Washington Post menyatakan bahwa angka
obesitas pada anak-anak di Amerika Serikat telah meningkat tiga kali
lipat hanya dalam waktu dua puluh tahun. Bahkan Mary Boggiano, kolega
saya sesama praktisi psikologi berani mengklaim bahwa enam puluh empat
persen dari seluruh manusia memiliki masalah berat badan (yang membuat
saya bertanya, ‘kalau begitu, bagaimana cara kita menentukan berat badan
“normal”? Karena artinya secara normatis orang-orang memiliki berat
badan diatas “normal”, kan?’).
Melenceng sedikit dari topik
pembicaraan, setengah dari enam puluh persen populasi manusia yang
memiliki masalah berat badan tersebut adalah sepertiga dari warga
Amerika Serikat, yang membuat negara tersebut menangani masalah
kelebihan berat badan secara serius. Sebegitu seriusnya sampai-sampai
kadang mereka bertindak konyol. Misalnya, bulan Februari 2008 menjadi
bulan yang cukup ramai di negara bagian Mississipi setelah sebagian
anggota legislasi berencana mengeluarkan undang-undang negara bagian
yang memberikan mandat bagi para pelayan restoran untuk menolak
memberikan makanan bagi pengunjung restoran yang kegemukan. Jika
undang-undang ini sampai terrealisasi, penolakan di restoran akan
terjadi cukup besar-besaran mengingat tiga puluh persen orang dewasa di
Mississippi dicurigai menderita obesitas.
Masih sedikit
melenceng dari topik pembicaraan, pembuatan produk hukum yang berkaitan
dengan makanan tidak hanya terjadi di negara bagian Mississippi. Bahkan
secara nasional ada sebuah undang-undang (yang populer dengan nama
Cheeseburger Bill) yang mempersulit konsumen untuk menuntut perusahaan
makanan. Undang-undang ini dibuat setelah ada tiga orang pada tahun 2002
yang menuntut restoran cepat-saji (yang memiliki lambang golden arch)
karena menurut mereka kandungan kalori dan lemak pada burger buatan
restoran itu jauh di atas perkiraan mereka, sehingga akhirnya membuat
mereka menderita obesitas. Walau pun sebelumnya pernah ada seorang
konsumen yang berhasil menuntut perusahaan rokok yang menurutnya telah
membuat dirinya ketagihan rokok, tuntutan terhadap restoran ini
dibatalkan oleh pengadilan serta memicu dibuatnya Cheeseburger Bill
tadi. Para pendukung undang-undang Cheeseburger tersebut mengatakan
bahwa tidak seperti tembakau, makanan tidak membuat seseorang ketagihan
dan besarnya makanan yang masuk ke tubuh sepenuhnya berada pada kendali
individu yang memakannya.
Tapi benarkah begitu? Psikologi
menjawab, ‘ya dan tidak’. Pembicaraan yang melenceng dari topik ini
mengantarkan kita ke pembahasan utama yang mau saya sampaikan. Dimulai
dari pertanyaan ‘benarkah makanan bisa menimbulkan ketagihan?’ yang
dalam menjawabnya kita harus menyinggung masalah bagaimana kerja otak
dalam mengatur kegiatan makan, dimana pengetahuan tentang kerja otak
tersebut akan sangat membantu kita untuk memahami diet.
Untuk
menjawab benarkah makanan bisa menimbulkan ketagihan, kita harus
mengetahui bagaimana kerja otak dalam mengatur perilaku makan (di sini,
saya melunasi janji saya di atas). Pada tahun 2007, majalah Scientific
American Mind membahas masalah ini (di bawah tajuk This Is Your Brain on
Food). Dalam edisi terbaru majalah Psychology Today, pembahasan ini
muncul kembali dengan judul Consuming Passions. Penjelasan yang saya
cantumkan di sini pada dasarnya adalah penggabungan dari kedua artikel
tersebut. Artikel ini menurut saya juga menambahkan kesimpulan Diane
Papalia dkk. (penulis buku Human Development, buku yang membahas
kehidupan manusia dari sejak embrio hingga kematiannya) yang menyatakan
bahwa penyebab utama kematian manusia sebetulnya bukan penurunan fungsi
tubuh (degenerasi), melainkan lebih disebabkan oleh gaya hidup yang
tidak bertanggung jawab (diantaranya, tidak menjaga pola dan komposisi
makan).
Nah, mari kita bahas proses yang dijalani otak dalam
mengatur perilaku makan (jika anda tidak terlalu suka penjabaran sistem
fisiologis manusia, lebih baik anda melewatkan tiga paragraf kebawah,
dihitung dari paragraf ini. Saya tidak marah. Sumpah!). Bagian otak yang
mengatur perilaku makan bernama hypotalamus (letaknya di tengah-tengah
otak). Bagian sisi-luar (Lateral) hypotalamus adalah bagian yang membuat
rasa lapar, sedangkan bagian depan-tengah (Ventromedial) hypotalamus
adalah bagian yang memberikan rasa kenyang.
Saat perut
kosong, sebuah hormon bernama Ghrelin dikeluarkan oleh tubuh. Hormon ini
kemudian, dengan bantuan darah, sampai di Lateral Hypotalamus (LH) dan
membuat LH mengeluarkan zat ‘lapar’ yaitu Neuropeptide Y (zat ini
memberitahukan bahwa tubuh lapar dan berselera atau ingin makan).
Ghrelin juga menghambat hormon yang menginformasikan pada otak bahwa
tubuh sedang merasa kenyang atau cukup (zat ‘kenyang’), yaitu
Proopiomelanocortin (POMC). Sehingga, manusia pun merasa lapar (atau
berselera untuk makan). Belum cukup? Tubuh mempunyai mekanisme kedua,
saat tubuh kurang tenaga karena kurang makan, banyaknya gula-darah dan
insulin pada darah menurun. Informasi ini diterima LH dan ikut menjadi
pendorong keluarnya Neuropeptide Y dan menghambat produksi POMC. Makin
lapar ‘lah kita jika otak kita tidak dituruti.
Sebaliknya,
saat perut kemudian kita isi, level gula-darah dan insulin meningkat,
sehingga LH kembali menurunkan Neuropeptide Y dan membiarkan POMC untuk
hadir di otak (otak jadi berkata, ‘oke, kita kenyang, semua senang’).
Selain itu ada juga bantuan dari Leptin, zat yang dihadirkan oleh lemak
tubuh yang menghambat zat ‘lapar’ dan menambah produksi zat ‘kenyang’.
Selain melalui darah, informasi bahwa badan merasa kenyang juga
disalurkan langsung melalui syaraf, yaitu dengan sebuah peptida bernama
Cholecystokinin (CCK) yang memberitahu otak bahwa perut sudah terisi
melalui syaraf. Mungkin informasi bahwa tubuh kenyang bisa disalurkan
melalui “jalan pintas” agar kita bisa segera menghentikan makan sebelum
lambung terlalu penuh.
Hanya saja, manusia sering membandel.
Sering kita dengar orang yang mengerjakan sesuatu, misalnya membuat PR,
sampai lupa makan. Nah, tubuh pun membuat sebuah sistem lain untuk
membantu dirinya mendapat jaminan makanan. Sistem ini bernama rasa
nikmat. Saat makanan masuk ke dalam tubuh kita, sebuah zat bernama
dopamine dilepaskan ke bagian otak sistem-limbik (yang mengatur motivasi
dan kenikmatan) yang bernama striatum (bagian otak untuk merasakan
kenikmatan dari makanan dan orgasme). Dopamine ini memberikan sensasi
yang nikmat pada otak. Sehingga, kegiatan makan menjadi kegiatan yang
menyenangkan, yang menyebabkan manusia akan dengan senang hati
memasukkan makanan ke dalam mulutnya dan menyebabkan tubuh mendapat
jaminan bahwa manusia akan memasukkan makanan yang dibutuhkan tubuh
untuk tetap hidup.
Tapi, manusia adalah mahluk yang memiliki
tabiat mencari kenikmatan. Jika ia mendapatkan kenikmatan dari sebuah
kegiatan, pada kesempatan berikutnya dimana ia menginginkan kenikmatan
tersebut, ia akan mengulangi kegiatan tadi. Di sinilah, terjadi
pemisahan antara dua bentuk lapar. Lapar pertama adalah lapar
sebetulnya, yaitu lapar yang disebabkan oleh proses fisiologis diatas
(melalu Ghrelin, gula-darah dan insulin) yang disebut sebagai ‘lapar
perut’. Lapar jenis kedua adalah rasa lapar (selera makan) untuk
mendapatkan rasa nikmat dari dopamine, yang disebut ‘lapar otak’ atau
dalam budaya kita dikenal sebagai ‘lapar mata’.
Rupanya,
bagian otak yang mendapatkan kenikmatan dari dopamine (Striatum) adalah
bagian yang sama dengan yang mendapatkan kenikmatan dari narkotika.
Pernyataan itu dibuat oleh majalah Scientific American Mind. Sedangkan,
artikel dari Psychology Today mempunyai pandangan lain dengan menyatakan
bahwa makanan sebetulnya adalah zat alami yang menimbulkan kenikmatan,
sedangkan narkotika adalah zat yang menimbulkan kenikmatan yang berlipat
ganda dari makanan. Apapun pandangan yang anda terima, dapat
disimpulkan bahwa makanan dan obat terlarang memberikan kenikmatan yang
sejenis (berbeda di kuatnya rasa nikmat) sehingga, makanan mungkin
menyebabkan ketagihan.
Bagaimana kira-kira cara makanan
menimbulkan ketagihan? Pembahasan ini akan memasuki masalah diet. Orang
yang memakai narkotik dan orang yang obesitas memiliki satu persamaan,
otak mereka tidak normal. Mereka memiliki reseptor dopamine yang
hypersensitif, yang membuat sedikit saja ekspose terhadap hal yang
mereka sukai (narkotik atau makanan) membuat mereka menjadi terobsesi
untuk mendapatkannya; ekspose ini tidak hanya dengan mencicipi hal yang
mereka sukai tersebut, tapi cukup dengan melihat barang tersebut atau
melihat orang lain menikmati barang tersebut.
Tapi bagaimana
caranya reseptor dopamine dapat berubah jadi hipersensitif? Pada
percobaan di laboratorium, ditemukan bahwa gaya diet ‘balas dendam’
merubah dopamine menjadi hipersensitif. Maksud gaya diet ‘balas dendam’
adalah melakukan diet dengan mengurangi jenis makanan tertentu (biasanya
yang berkalori tinggi seperti nasi). Masalahnya, ditemukan bahwa
manusia cenderung akan memiliki masa ‘balas dendam’ di mana ada sebuah
waktu diantara diet saat makanan berkalori tinggi masuk dalam jumlah
besar. Gaya diet menahan tubuh LALU memanjakan tubuh dengan makan tanpa
kontrol ini ternyata bisa membuat reseptor dopamine menjadi
hipersensitif dan membuat tubuh jadi terobsesi pada makanan yang
ditahan-tahan tersebut. Maka, ketagihan pada makanan pun terjadi dan
orang yang sudah sampai pada tahap ini akan mengalami kesulitan untuk
mengontrol pemasukan makanan ke dalam tubuhnya.
Permasalahan
lain yang ditemukan adalah ternyata tubuh tidak memiliki sistem yang
mengingatkan bahwa berat badan sudah mencapai over-weight atau obese.
Tubuh hanya memiliki sistem yang akan panik saat berat badan menurun.
Jadi, jika berat anda naik dari 60 kg sampai 80 kg, tubuh anda akan
tenang-tenang saja. Tapi, jika kemudian berat anda turun dari 80 kg
menjadi 79 kg, tubuh akan memerintahkan agar anda makan agar bisa
kembali ke titik 80 kg.
Oleh karena itu, psikologi
menyimpulkan bahwa bentuk diet yang terbaik adalah diet yang logis,
makanlah dengan porsi sedikit dibawah porsi anda sekarang (dan penurunan
porsi ditingkatkan perlahan) dan jangan dengarkan tubuh anda yang
‘panik’ dengan membuat anda lapar. Lalu, jangan dengan ekstrim memotong
sebuah jenis makanan; lebih baik anda mengurangi semua jenis makanan
tetapi dalam tahap yang berjenjang dan pengurangan yang sedikit-sedikit.
Jika anda mengalami peningkatan berat badan, jangan tangani dengan
mengurangi porsi makan; sebaiknya tanggulangi dengan berolahraga, walau
pun pada saat itu anda sedang malas berolahraga. (Dion)
Sumber :
Dion. (2008). Psikologi dan Makanan. Diunduh dari www.psigoblog.com. Diakses 3 April 2 012.